Kamis, 27 Agustus 2015

AUTISME

 adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-kadang telah dapat dideteksi sejak bayi berusia 6 bulan. Deteksi dan terapi sedini mungkin akan menjadikan si penderita lebih dapat menyesuaikan dirinya dengan yang normal. Kadang-kadang terapi harus dilakukan seumur hidup, walaupun demikian penderita Autisme yang cukup cerdas, setelah mendapat terapi Autisme sedini mungkin, seringkali dapat mengikuti Sekolah Umum, menjadi Sarjana dan dapat bekerja memenuhi standar yang dibutuhkan, tetapi pemahaman dari rekan selama bersekolah dan rekan sekerja seringkali dibutuhkan, misalnya tidak menyahut atau tidak memandang mata si pembicara, ketika diajak berbicara. Karakteristik yang menonjol pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi serta perasaan orang lain.[1] Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang merupakan bagian dari Kelainan Spektrum Autisme atau Autism Spectrum Disorders (ASD) dan juga merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung Gangguan Perkembangan Pervasif atau Pervasive Development Disorder (PDD). Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan yang terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat berfungsi selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang autisme.[2] Autisme adalah yang terberat di antara PDD.
Gejala-gejala autisme dapat muncul pada anak mulai dari usia tiga puluh bulan sejak kelahiran hingga usia maksimal tiga tahun.[1][3] Penderita autisme juga dapat mengalami masalah dalam belajar, komunikasi, dan bahasa.[1] Seseorang dikatakan menderita autisme apabila mengalami satu atau lebih dari karakteristik berikut: kesulitan dalam berinteraksi sosial secara kualitatif, kesulitan dalam berkomunikasi secara kualitatif, menunjukkan perilaku yang repetitif, dan mengalami perkembangan yang terlambat atau tidak normal.[4]
Di Amerika Serikat, kelainan autisme empat kali lebih sering ditemukan pada anak lelaki dibandingkan anak perempuan dan lebih sering banyak diderita anak-anak keturunan Eropa Amerika dibandingkan yang lainnya.[5] Di Indonesia, pada tahun 2013 diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak yang menderita autisme dalam usia 5-19 tahun.[6] Sedangkan prevalensi penyandang autisme di seluruh dunia menurut data UNESCO pada tahun 2011 adalah 6 di antara 1000 orang mengidap autisme.



Gejala

Secara historis, para ahli dan peneliti dalam bidang autisme mengalami kesulitan dalam menentukan seseorang sebagai penyandang autisme atau tidak. Pada awalnya, diagnosa disandarkan pada ada atau tidaknya gejala namun saat ini para ahli setuju bahwa autisme lebih merupakan sebuah kontinuum. Gejala-gejala autisme dapat dilihat apabila seorang anak memiliki kelemahan di tiga domain tertentu, yaitu sosial, komunikasi, dan tingkah laku yang berulang.[7]
Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa autisme sehingga menyertakan pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas di antara teman-teman sebaya mereka yang normal.
Persoalan lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.

Diagnosis

Anak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangsangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
  1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
  2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
  3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
  4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
  5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa di antaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
  1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
  2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
  3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
  4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
  5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.
Dokter spesialis yang cocok untuk mendeteksi Autisme adalah Dokter Spesialis Anak (Sp.A) yang dibantu oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (Sp.KJ) untuk mengetahui antara lain tingkat kecerdasan Balita, Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala leher (Sp.THT-KL) untuk mengetahui antara lain pendegaran Balita Yang tidak/kurang responsif terhadap suara atau bahkan tidak dapat berkata-kata dan dapat disangka penderita Autisme, padahal bukan.

Simtoma klinis menurut DSM IV

A. Interaksi Sosial (minimal 2):
  1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
  2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
  3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
  4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
B. Komunikasi Sosial (minimal 1):
  1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
  2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
  3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
  4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):
  1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
  2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
  3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Seorang anak penderita autisme, dengan jajaran mainan yang ia buat
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.
Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Pervasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
  • Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler pada awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
  • The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen pada awal tahun 1990-an.
  • The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
  • The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan pengamatan yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.

Penyebab

Hingga kini apa yang menyebabkan seseorang dapat menderita autisme belum diketahui secara pasti. Riset-riset yang dilakukan oleh para ahli medis menghasilkan beberapa hipotesa mengenai penyebab autisme. Dua hal yang diyakini sebagai pemicu autisme adalah faktor genetik atau keturunan dan faktor lingkungan seperti pengaruh zat kimiawi ataupun vaksin.[8]

Faktor genetik

Faktor genetik diyakini memiliki peranan yang besar bagi penyandang autisme walaupun tidak diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya dapat disebabkan oleh gen dari keluarga.[7] Riset yang dilakukan terhadap anak autistik menunjukkan bahwa kemungkinan dua anak kembar identik mengalami autisme adalah 60 hingga 95 persen sedangkan kemungkinan untuk dua saudara kandung mengalami autisme hanyalah 2,5 hingga 8,5 persen.[7] Hal ini diinterpretasikan sebagai peranan besar gen sebagai penyebab autisme sebab anak kembar identik memiliki gen yang 100% sama sedangkan saudara kandung hanya memiliki gen yang 50% sama.[7]

Faktor lingkungan

Ada dugaan bahwa autisme disebabkan oleh vaksin MMR yang rutin diberikan kepada anak-anak di usia dimana gejala-gejala autisme mulai terlihat.[9] Kekhawatiran ini disebabkan karena zat kimia bernama thimerosal yang digunakan untuk mengawetkan vaksin tersebut mengandung merkuri.[9] Unsur merkuri inilah yang selama ini dianggap berpotensi menyebabkan autisme pada anak. Namun, tidak ada bukti kuat yang mendukung bahwa autisme disebabkan oleh pemberian vaksin. Penggunaan thimerosal dalam pengawetan vaksin telah diberhentikan namun angka autisme pada anak semakin tinggi.[9]

Penanganan autisme

Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia di antaranya adalah:
  1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
  2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
  3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
  4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
  5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.

Terapi

Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
  • Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
  • Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
  • TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
  • Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
  • Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
  • Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
  • Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
  • Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.

Prognosis

Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:
  • Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families
  • Chromosome 7 – speech / language chromosome
  • Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?

Perkembangan penelitian autisme

Penelitian mengenai autisme pertama kali diprakarsai oleh seorang psikiater asal Amerika Serikat, Leo Kanner, pada tahun 1943.[10] Melalui makalah risetnya yang berjudul "Autistic Disturbances of Affective Contact", Kanner mendiagnosa sebelas orang anak yang memiliki gangguan yang sama dan mendeskripsikannya sebagai "autisme".[10] Pada masa itu, anak-anak penderita autisme dianggap sebagai anak yang bodoh dan terbelakang bukan sebagai anak yang mengalami gangguan perkembangan.[10] Hasil penelitian yang dilakukan Kanner ini kemudian menjadi titik tolak perkembangan penelitian autisme serta perubahan pandangan masyarakat terhadap anak-anak yang menderita autisme.
Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:
  • Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
  • Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
  • Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
  • Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.

Pencegahan, Penyebab, Gejala, Pengobatan Penyakit Cacar Air - Informasi Kesehatan

A. Pengertian / Arti Definisi Penyakit Cacar Air

Cacar air adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varicella zoster yang mengakibatkan munculnya ruam kulit berupa kumpulan bintik-bintik kecil baik berbentuk datar maupun menonjol, melepuh serta berkeropeng dan rasa gatal. Penyakit cacar air merupakan penyakit menular yang bisa ditularkan seseorang kepada orang lain secara langsung. Cacar air dikenal juga dengan nama lainnya yaitu varisela dan chickenpox.

Orang yang pernah terkena infeksi virus cacar air maka tubuh orang tersebut akan membentuk antibodi terhadap virus varicella zoster sehingga di masa depan tidak akan lagi terserang penyakit virus cacar air dari penularan yang dilakukan oleh orang lain. Namun cacar air yang tidak diberantas habis secara tuntas bisa terus hidup di dalam tubuh penderitanya dan akan muncul menjadi penyakit herpes zoster ketika kekebalan tubuh orang tersebut sedang tidak baik.

B. Sumber Penyebab Penyakit Cacar Air

Penyebab dari penyakit cacar air adalah infeksi suatu virus yang bernama virus varicella zoster yang disebarkan manusia melalui cairan percikan ludah maupun dari cairan yang berasal dari lepuhan kulit orang yang menderita penyakit cacar air. Seseorang yang terkena kontaminasi virus cacar air varicella zoster ini dapat mensukseskan penyebaran penyakit cacar air kepada orang lain di sekitarnya mulai dari munculnya lepuhan di kulitnya sampai dengan lepuhan kulit yang terakhir mongering.

C. Tanda-Tanda / Ciri-Ciri / Gejala Penyakit Cacar Air

- Setelah 10 sampai 21 hari setelah terkena infeksi virus cacar air muncul gejala penyakit seperti sakit kepala, demam sedang dan juga rasa tidak enak badan. Pada anak di bawah umur 10 tahun biasanya tidak muncul gejala, sedangkan pada orang dewasa bisa lebih parah gejalanya.
- Setelah dua atau tiga hari kemudian akan mulai muncul bintek merah datar yang disebut macula, lalu menjadi menonjol yang disebut papula, kemudian muncul cairan didalamnya seperti melepuh disertai rasa gatal yang disebut vesikel, dan yang terakhir adalah mengering sendiri. Lama proses mulai dari macula, papula, vesikel dan kropeng membutuhkan waktu kurang lebih 6 sampai 8 jam. Proses berulang-ulang ini akan berlangsung selama empat hari.
- Pada hari ke lima biasanya tidak ada kemunculan lepuhan baru di kulit.
- Pada hari ke enam semua lepuhan yang tadinya muncul akan kering dengan sendirinya dan akhirnya hilang setelah kurang lebih sekitar 20 hari.

Pada anak-anak yang terkena cacar air biasanya tidak mengalami kesulitan yang berarti untuk bisa cepat sembuh, namun pada orang dewasa dan juga orang yang mengalami gangguan kekebalan tubuh dari penyakit, maka penyakit cacar air bisa berakibat buruk dan bahkan fatal. Komplikasi penyakit yang dapat terjadi akibat cacar air adalah seperti :

- Pnemounia yang diakibatkan virus lain
- Ensefalitis atau infeksi pada otak
- Peradangan pada jantung
- Peradangan pada sendi
- Peradangan pada hati

Sakit cacar air bisa memunculkan infeksi bakteri stafilokokus jika terjadi infeksi luka akibat garukan pada kulit yang gatal. Sakit cacar air juga bisa saja menyebabkan pembengkaan kelenjar getah bening pada leher bagian samping. Luka terbuka atau disebut ulkus yang terjadi akibat papula yang pecah biasa terjadi di bagian mulut, saluran pernapasan bagian atas, vagina, rectum dan kelopak mata. Jika terdapat papula di pita suara dan saluran pernapasan atas akan mengakibatkan gangguan pernapasan.

D. Diagnosa / Diagnosis Penyakit Cacar Air

Diagnosa dilakukan dengan melihat ruam pada kulit dengan munculnya makula, papula, vesikel dan keropeng.

E. Upaya Penyembuhan / Pengobatan Penyakit Cacar Air

Untuk mengatasi gejala-gejala penyakit cacar air bisa dilakukan dengan melakukan kompres dingin pada kulit yang terkena agar rasa gatal berkurang dan mengurasi garuk-garuk yang dapat menyebabkan infeksi. Selain kompres dingin bisa juga dengan memberikan losyen (lotion) khusus. Untuk mengurangi rasa gatal yang berlebihan bisa diberikan obat pengurang gatal pada kulit. Jika terjadi demam maka bisa diberikan obat sesuai dengan petunjuk atau resep dokter. Cacar air nantinya akan hilang dengan sendirinya pada penderita setelah jangka waktu tertentu.

Untuk mencegah tejadinya infeksi bakteri serta komplikasi akibat serangan cacar air bisa dilakukan beberapa usaha berikut ini, antara lain :

- Menjaga kebersihan tangan dengan rajin mencuci tangan dengan sabun
- Memotong kuku yang panjang dan mengikir kuku yang tajam
- Sering mandi atau mencuci kulit dengan sabun anti kuman
- Memakai pakaian yang telah dicuci bersih dan kering serta nyaman dipakai
- Sering mengganti pakaian jika sudah dirasa kotor atau tidak nyaman

F. Cara Mencegah/Menghindari Penyakit Cacar Air

Pencegahan penyakit cacar air dilakukan dengan memberikan vaksin varisela pada anak-anak bayi yang berumur antara 12 sampai 18 bulan. Pada orang dewasa yang belum pernah mengalami cacar serta mempunyai gangguan pada sistem kekebalan tubuh bisa minta diberikan immunoglobulin zoster atau immunoglobulin varicella zoster dari dokter karena dikhawatirkan akan terjadi hal buruk ketika terserang penyakit cacar air akibat komplikasi yang bisa mengakibatkan kematian.

Apabila di sekitar kita ada orang yang menderita penyakit cacar air sebaiknya segera menjauh jika kita bukan keluarganya agar tidak tertular. Jangan dekat-dekat maupun memegang benda-benda yang telah dipegang penderita ketika sakit cacar air. Jika kita keluarganya ada baiknya penderita segera dirawat di rumah sakit agar virus tidak menyebar di dalam rumah maupun di tempat lainnya si penderita melakukan aktivitas. Jika tidak memungkinkan maka bisa dirawat berobat jalan di rumah sesuai petunjuk dari dokter. Jangan lupa untuk membersihkan segala benda-benda yang mungkin terkontaminiasi virus cacar air.

G. Pengobatan Alami / Obat Herbal Penyakit Cacar Air

Pengobatan herbal dan pengobatan alternatif penyakit cacar air. (Belum Tersedia)

Typhoid

Demam typhoid atau dalam bahasa kesehariannya dikenal dengan nama penyakit tifus/tifes adalah suatu penyakit demam akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Selain oleh Salmonella typhi, demam typhoid juga bisa disebabkan oleh Salmonella paratyphi namun gejalanya jauh lebih ringan. Kuman ini umumnya terdapat dalam air atau makanan yang ditularkan oleh orang yang terinfeksi kuman tersebut sebelumnya.
Demam typhoid saat ini masih sangat sering kita jumpai dalam kehidupan sehari hari. Lebih dari 13 juta orang terinfeksi kuman ini di seluruh dunia dan 500.000 diantaranya meninggal dunia.
Bagaimana sih seseorang bisa mengalami demam typhoid?
Kuman typhoid masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau air yang kita konsumsi. Seorang penderita typhoid dapat mencemari air di sekitarnya melalui kotoran yang penuh dengan kuman typhoid. Air yang tercemar ini bila digunakan untuk mengolah makanan maka makanan pun akan ikut tercemar terutama makanan yang tidak dimasak dengan baik.
Tidak semua penderita typhoid mengalami gejala yang kasat mata, banyak diantaranya yang walaupun terinfeksi tetapi tidak merasakan apa apa. Nah, mereka inilah yang berbahaya sebab mereka dapat menulari orang lain sementara karena tidak merasakan sakit, mereka enggan untuk ke dokter berobat. Orang orang seperti ini dikenal dengan nama carier.
Kuman typhoid berkembang biak dan bertambah banyak di dalam kandung empedu dan hati yang selanjutnya masuk ke dalam usus. Hebatnya, kuman ini mampu bertahan berminggu minggu di dalam air atau kubangan yang telah kering.
Bagaimana kuman typhoid dapat menyebabkan penyakit?
Setelah memakan makanan yang terkontaminasi, kuman typhoid selanjutnya masuk ke dalam usus halus lalu ke pembuluh darah. Di dalam pembuluh darah, kuman typhoid dibawa oleh sel darah putih menuju hati, limpa dan sumsum tulang. Kuman selanjutnya bertambah banyak pada organ organ ini lalu kembali ke pembuluh darah. Saat inilah penderita typhoid akan merasakan gejala demam. Berikutnya kuman akan memasuki kandung empedu lalu jaringan getah bening usus. Disini kuman akan berkembang biak semakin banyak. Lalu kuman juga akan menembus dinding usus dan bercampur dengan kotoran. Nah, selain dari pemeriksaan darah, demam typhoid juga dapat dipastikan dengan pemeriksaan kotoran.
Apa saja gejala demam typhoid?
Masa inkubasi penyakit ini antara satu sampai dua minggu dan lamanya penyakit dapat mencapai enam minggu. Beberapa gejala yang dialami pasien antara lain :
  • Sakit kepala yang luar biasa.
  • Penurunan nafsu makan.
  • Nyeri nyeri pada seluruh tubuh.
  • Demam.
  • Lemah.
  • Diare.
Penderita demam typhoid dapat mengalami demam sampai dengan 40 derajat Celsius.
Beberapa pasien dapat mengalami sesak nafas, nyeri pada perut dan ketidaknyamanan lainnya. Jika tidak ada komplikasi maka penyembuhan akan terjadi pada minggu ke 3 dan 4. Sekitar 10% pasien yang sudah dinyatakan sembuh akan mengalami kekambuhan setelah dua sampai tiga minggu kemudian. Penyebab dari kekambuhan ini belum dapat dipastikan namun hal ini terjadi umumnya pada pasien yang mendapat pengobatan antibiotika.
Bagaimana mengobati demam typhoid?
Demam typhoid diobati dengan antibiotika yang dapat membunuh kuman Salmonella. Sebelum penggunaan antibiotika secara luas, angka kematian dari penyakit ini mencapai 20%. Kematian umumnya disebabkan oleh komplikasi typhoid antara lain radang paru paru, perdarahan usus, dan kebocoran usus. Dengan antibiotika yang tepat, angka kematian dapat ditekan menjadi sekitar 1 sampai 2%. Dengan pengobatan yang pas, lamanya penyakit pun dapat ditekan menjadi sekitar seminggu.
Bagi mereka yang suka jalan jalan ke daerah yang beresiko, vaksin untuk typhoid pun sudah tersedia, namun di Indonesia masih sangat jarang kita temui.

JENIS - JENIS DAN CARA MENGATASI (MENGOBATI) PENYAKIT BATUK


batukDiagnosa penyakit batuk tuberkulosa (TBC) ditegakkan apabila batuk lama tersebut disertai dengan gejala demam terutama setelah sore hingga malam hari, keluar keringat dingin pada malam, lendir berwarna kuning hingga kehijauan bahkan kadang terdapat bercak darah segar. Di samping itu, berat badan kurang serta adanya riwayat kontak dengan penderita penyakit batuk tuberkulosa (paru - paru / TBC) lebih mengarahkan pada diagnosa ini. Pemeriksaan penunjang diagnosa bisa melalui radiologi (foto rontgen), pemeriksaan darah dan ditemukannya kuman mycobacterium tuberculosa didahak adalah suatu kepastian diagnosa penyakit ini. Apabila telah tegak diagnosa tuberkulosa maka dilakukan pengobatan selama 6 bulan. Pengobatan penyakit batuk jenis ini harus rutin dan tuntas, karena pengobatan penyakit batuk yang tidak selesai akan menimbulkan persoalan ,baik bagi penderita maupun kepada orang lain. Bagi penderita bisa terjadi resistensi atau kekebalan terhadap obat tersebut sehingga perlu obat lain yang lebih mahal, sedangkan bagi orang lain adalah resiko tertularnya penyakit batuk ini melalui dahak yang mengandung kuman tuberkulosa. Begitu pentingnya pengobatan penyakit batuk yang teratur dan tuntas ini, maka pemerintah telah menyediakan paket pengobatan penyakit batuk tuberkulosa secara gratis sehingga bisa didapatkan di rumah sakit atau puskesmas terdekat.

PENYAKIT BATUK ASMA

Kemungkinan kedua dari batuk yang lama ini adalah penyakit asma. Gejala dari penyakit ini selain penyakit batuk adalah



sesak napas atau timbulnya suara “ngik” terutama saat mengeluarkan nafas dan bersifat berulang atau kumat-kumatan .Pencetus dari penyakit asma adalah alergi bisa dari makanan, debu. Serbuk sari tumbuhan, atau keadaan tertentu seperti emosi, stres, kelelahan atau adanya infeksi saluran napas. Biasanya penyakit asma diderita oleh seseorang yang mempunyai riwayat atau keturunan asma ,dermatiis atopi (yakni bentuk gatal / eksim) dianggota badan yang sifatnya simetris) atau rinitis dan konjungtivitis alergi (radang hidung dan mata). Pengobatan penyakit batuk ini ada 2 jenis yaitu obat pelega misalnya salbutamol atau teofilin diminum saat serangan dan obat pengontrol misalnya steroid diminum setiap hari sehingga menjadi asma yang terkontrol. Kedua jenis obat itu yang terbaik adalah dalam bentuk inhalasi atau dihirup karena dosis lebih kecil, kerja cepat dan mempunyai efek minimal.

PENYAKIT BATUK YANG BERKAITAN DENGAN PENYAKIT PARU

Penyakit ini berhubungan erat dengan asap rokok, polusi udara dan industri. Terjadi hambatan aliran udara dalam paru-paru akibat reaksi terhadap polusi ini. Gejala penyakit ini selain batuk adalah berdahak dan sesak napas saat melakukan aktifitas ringan dan penderita tampak kurus dan lemah. Serangan bisa muncul siang atau malam hari, berbeda dengan asma yang kebanyakan malam hari. Penyakit ini cenderung semakin berat dan dapat menyebabkan kematian. Pengobatan terhadap penyakit ini adalah dengan obat pelega pernapasan dan pengencer dahak yang biasanya berlebihan. Dan terpenting menghindari terpaan atau paparan asap rokok dan polusi udara lain. Pemeriksaan sedini mungkin sangat membantu mencegah berlarutnya penyakit.

PENYAKIT BATUK PADA ANAK

Batuk lama pada anak dibawah lima tahun kemungkinan lebih luas. Pada anak dibawah umur 1 tahun harus dipikirkan adanya kelainan bawaan berupa kelainan jantung bawaan misalnya jantung bocor. Biasanya ada gejala cepat lelah ,warna biru pada bibir dan jari-jari, serta adanya gangguan tumbuh kembang. Kelainan bawaan lain adalah di trachea yaitu ujung saluran napas yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Penyebab lain pada anak adalah infeksi baik virus atau bakteri .Penyakit batuk rejan atau lebih dikenal dengan penyakit batuk 100 hari adalah salah satu penyakit yang sering terjadi di mana anak akan mengalami batuk yang bersambung terus menerus dan hebat hingga keluar air matanya serta berhenti saat terasa mau muntah. Pemakaian obat-obatan sebaiknya dikonsultasikan ke dokter. Minum air putih hangat dalam jumlah banyak sangat membantu mengeluarkan lendir .Salah satu penyebab batuk pada anak adalah akibat adanya aliran balik asam lambung saat muntah. Karena reflek menelan belum sempurna menyebabkan cairan lambung yang mengandung asam mengiritasi saluran napas dan menimbulkan penyakit batuk. Benda asing dalam saluran napas juga perlu dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab batuk pada anak. Jangan remehkan batuk, periksakan ke dokter bila batuk tidak kunjung sembuh dalam beberapa hari. Biarpun batuk merupakan sebagai salah satu bentuk pertahanan tubuh terhadap benda asing ke dalam saluran pernapasan.

PENYAKIT BATUK

Batuk adalah salah satu keluhan yang sering disampaikan oleh seseorang tatkala berobat. Gejala batuk tidak boleh dianggap remeh karena banyak sekali penyakit dari yang ringan sampai dengan berat yang salah satu tandanya adalah batuk. Bila batuk terjadi selama beberapa hari sampai kurang dari 2 minggu, kemungkinan penyebabnya adalah infeksi saluran pernafasan bagian atas yang dapat diobati dengan baik dalam waktu yang tidak lama. Adapun bila batuk berlangsung lama lebih dari 2 minggu, maka perlu dilakukan pemeriksaan dengan lebih teliti dan lengkap.

Penyebab , Gejala , Pencegahan Serta Pengobatan Penyakit Demam Berdarah Dangue ( DBD )


Musim Hujan... adalah musim yang unik, karena ketika musim hujan pasti akan diiring dengan musim – musim lainnya. Misalnya musim buah buahan sebab akan banyak pohon berbuah ketika musim hujan. Selain itu biasanya musim hujan akan diiringi juga  dengan musim banjir di banyak tempat. Tapi yang terpenting dari semua itu yang pasti biasanya akan muncul musim penyakit. Seperti flu, demam, malaria dan yang lebih berbahaya dari semua itu ialah penyakit DBD  ( demam berdarah dangue ) . Sebuah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang mana menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan perdarahan-perdarahan. DBD ini banyak di temukan di daerah tropis yang curah hujannya cukup tinggi. Sebab nyamuk akan mudah berkembang biak di daerah yang tergenang air. Umumnya sering terjadi di daerah Asia Tenggara, khususnya Indonesia.


Biasanya penyakit demam berdarah akan di tandai dengan gejala sebagai berikut :

Masa tunas / inkubasi selama 3 - 15 hari sejak seseorang terserang virus dengue, Selanjutnya penderita akan menampakkan berbagai tanda dan gejala demam berdarah sebagai berikut :
  1. Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38 - 40 derajat Celsius).
  2. Pada pemeriksaan uji torniquet, tampak adanya jentik (puspura) perdarahan.
  3. Adanya bentuk perdarahan dikelopak mata bagian dalam (konjungtiva), Mimisan (Epitaksis), Buang air besar dengan kotoran (Peaces) berupa lendir bercampur darah (Melena), dan lain-lainnya.
  4. Terjadi pembesaran hati (Hepatomegali).
  5. Tekanan darah menurun sehingga menyebabkan syok.
  6. Pada pemeriksaan laboratorium (darah) hari ke 3 - 7 terjadi penurunan trombosit dibawah 100.000 /mm3 (Trombositopeni), terjadi peningkatan nilai Hematokrit diatas 20% dari nilai normal (Hemokonsentrasi).
  7. Timbulnya beberapa gejala klinik yang menyertai seperti mual, muntah, penurunan nafsu makan (anoreksia), sakit perut, diare, menggigil, kejang dan sakit kepala.
  8. Mengalami perdarahan pada hidung (mimisan) dan gusi.
  9. Demam yang dirasakan penderita menyebabkan keluhan pegal/sakit pada persendian.
  10. Munculnya bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah.
Sebenarnya demam berdarah dapat dicegah, Pencegahan Demam berdarah dapat berupa :
 3M
  • Menguras : Menguras tempat penampungan air secara rutin, seperti bak mandi dan kolam. Sebab bisa mengurangi perkembangbiakan dari nyamuk itu sendiri. Atau memasukan beberapa ikan kecil kedalam bak mandi atau kolam. Sebab ikan akan memakan jentik nyamuk.
  • Menutup : Menutup tempat-tempat penampungan air. Jika setelah melakukan aktivitas yang berhubungan dengan tempat air sebaiknya anda menutupnya agar nyamuk tidak bisa meletakan telurnya kedalam tempat penampungan air. Sebab nyamuk demam berdarah sangat menyukai air yang bening.
  • Mengubur. Kuburlah barang – barang yang tidak terpakai yang dapat memungkinkan terjadinya genangan air.
Jika Anda yang sudah terlanjur terserang penyakit demam berdarah maka cara pengobatanya antara lain :
Banyak orang yang sembuh dari penyakit ini dalam jangka waktu 2 minggu. Tindakan pengobatan yang umum dilakukan pada pasien demam berdarah yang tidak terlalu parah adalah pemberian cairan tubuh (lewat minuman atau elektrolit) untuk mencegah dehidrasi akibat demam dan muntah, konsumsi obat yang mengandung acetaminofen (misalnya tilenol) untuk mengurangi nyeri dan menurunkan demam serta banyak istirahat. Aspirin dan obat anti peradangan nonsteroidal seperti ibuprofen dan sodium naproxen justru dapat meningkatkan risiko pendarahan. Bagi pasien dengan demam berdarah yang lebih parah, akan sangat disarankan untuk menjalani rawat inap di rumah sakit, pemberian infus dan elektrolit untuk mengganti cairan tubuh, serta transfusi darah akibat pendarahan yang terjadi.

Namun yang terpenting untuk terhidar dari berbagai penyakit ialah selalu menjaga tubuh agar tetap fit. Dengan berolah raga dan membiasakan pola hidup sehat.  Semoga bermanfaat.

Waspada Keputihan




Salah satu penyakit yang perlu dikenal oleh kaum wanita adalah Keputihan Wanita. Perkenalan ini tentu bukan untuk disayangi dan dipelihara tetapi untuk diobati, walaupun tidak semua Keputihan Vagina memerlukan pengobatan. Maka dari itu, pertama tama harus dibedakan dahulu, mana keputihan yang normal terjadi pada setiap wanita dan mana yang tidak. Keputihan Vagina atau dalam bahasa kedokteran disebut leukore atau flour albus, adalah cairan yang keluar dari vagina/liang kemaluan secara berlebihan. Dalam keadaan normal, cairan ini tidak sampai keluar, namun belum tentu cairan yang keluar tersebut merupakan suatu penyakit

Pada kesempatan kali ini, penulis mencoba memberikan pemaparan tentang Vagina Keputihan berdasarkan atas gejala keputihan yang timbul. Gejala tersebut bisa diamati dari sifat sifat cairan yang keluar saat keputihan berlangsung. Sumber cairan sendiri bisa berasal dari vagina, cairan leher rahim, cairan uterus, dan cairan yang berasal dari tuba falopii.

  • Bila cairan yang keluar jernih, berlendir banyak namun tidak berbau maka hal ini merupakan sesuatu yang normal terjadi saat seorang wanita menjelang menstruasi, kelebihan hormon estrogen dan stress. Keputihan seperti ini juga sering dijumpai pada wanita hamil.
  • Jika cairan yang keluar seperti susu kental, lengket, sangat banyak dengan bau yang tidak begitu mencolok maka kemungkinan telah terjadi radang pada serviks/leher rahim (servisitis) dan vagina (vaginitis).
  • Cairan yang keluar berwarna coklat, encer seperti air, sangat banyak dan lembab, maka kemungkinan wanita tersebut menderita vaginitis, servisitis, gangguan pembuluh darah pada serviks, endometriosis dan saat pengobatan kanker dengan radiasi. Warna coklat timbul akibat perdarahan yang terjadi akibat kelainan tersebut.
  • Bila cairan berwarna abu abu dengan garis darah, encer seperti air, sangat banyak dan berbau busuk yang keluar dari vagina, maka kemungkinan wanita tersebut menderita ulkus vagina, vaginitis. Kemungkinan lain yang sangat perlu diwaspadai adalah kanker baik ganas maupun jinak.
  • Jika cairan yang keluar berwarna merah muda, cair, sangat banyak tetapi tidak berbau maka kemungkinan telah terjadi infeksi bakteri non spesifik. Gejala ini juga timbul saat seorang wanita kelebihan hormon estrogen.
  • Bila cairan yang keluar putih, encer berbintik bintik banyak, berbau apek disertai dengan nyeri saat buang air kecil serta gatal di sekitar kemaluan maka kemungkinan wanita tersebut menderita infeksi yang disebabkan oleh jamur. Candida albicans adalah jamur yang paling sering hinggap di kemaluan seorang wanita.
  • Bila cairan yang keluar kuning kehijauan, berbusa, merah, sangat banyak, gatal, berbau busuk dan ditemukan nyeri tekan pada sekitar kemaluan serta kemerahan pada vagina, maka kemungkinan telah terjadi infeksi yang disebabkan oleh kuman protozoa Trichomonas vaginalis.
  • Terakhir, bila cairan yang keluar berwarna kuning, kental, sangat banyak, terasa panas dan gatal pada kemaluan, nyeri tekan pada daerah sekitar kemaluan, nyeri saat buang air kecil, maka kemungkinan infeksi yang disebabkan oleh Nisseria gonorrhoe atau lebih beken disebut GO.